Rabu, 04 Februari 2009

Implementasi CSR di Indonesia

Setelah menjadi kontraversi, akhirnya DPR menyepakati adanya ketentuan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru disahkan dalam rapat paripurna DPR, Jumat (20/7). Dipastikan ketentuan CSR itu ditujukan ke perseroan yang kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam (SDA) atau yang berkaitan dengan itu. Seluruh fraksi sepakat, kewajiban CSR hanya dilakukan bagi perusahaan yang berpotensi menciptakan ekses negatif bukan ke semua perusahaan perseroan. 
Sebelumnya pro kontra
tentang kewajiban sebuah perusahaan untuk melaksanakan (CSR) sebagaimana diatur dalam pasal 74 Rancangan Undangan-Undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas, ramai diberitakan di sejumlah media massa. Perdebatan masalah CSR ini juga muncul di mailinglist, salah satunya di komunitas Forum Pembaca Kompas. Opini yang dibangun, kebanyakan mereka menolak CSR sebagai kewajiban bagi perusahaan. 
Sikap menolak terhadap pasal yang mewajibkan perusahaan melaksanakan CSR, sangat jelas ditunjukan oleh sejumlah asosiasi perusahaan yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Mereka antara lain: Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Persatuan Industri Kosmetika Indonesia (Perkosmi), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (Agri), Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), Aspadin (Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan), dan Nampa (Asosiasi Industri Pengolahan Daging). Penolakan mereka juga didukung oleh pimpinan Indonesia Business Link (IBL), serta Kompartemen Akuntansi Manajemen (IAI). 
Awalnya, kewajiban CSR untuk semua perseroan. Posisi kini berubah, hanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA). “Bisa pertambangan, bisa perkebunan,” jelas Ketua Panitia Khusus RUU PT (Pansus PT) Akil Mochtar (18/7). Perubahan kewajiban CSR itu secara tegas ditentang oleh Asosiasi Pertambangan Indonesia.
Mereka beralasan CSR yang berlaku wajib dapat membebani industri, menurunkan daya saing, menghambat iklim investasi di dalam negeri, memicu hengkangnya modal dari Indonesia, sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan ekspor yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. CSR juga dianggap akan menjadi beban cost bagi perusahaan yang tidak semuanya mendapatkan keuntungan besar.
Atas dasar itulah, pemerintah didesak membatalkan pengaturan kewajiban CSR dalam RUU PT. Mereka melihat lebih tepat jika dilakukan dengan memberikan insentif pajak kepada pelaku usaha yang melaksanakan CSR.   
Pemerintah sendiri tampaknya tidak satu kata perihal pencantuman pasal kewajiban program sosial perusahaan dalam RUU itu. Dephum & HAM ingin ketentuan itu masuk, tapi Departemen Perindustrian menolaknya. Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM, Suhariyono, menjelaskan, aslinya pasal CSR tersebut adalah usulan DPR. Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Perseroan Terbatas Choirul Saleh menyebut bahwa Fraksi PDI Perjuangan dan Kebangkitan Bangsa yang mengusulkan pasal CSR. Sebaliknya, Departemen Perindustrian tak sepaham dengan pandangan itu. Menteri Perindustrian, Fahmi Idris berpendapat bahwa sebaiknya CSR berjalan secara sukarela. Belakangan Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa kewajiban CSR itu disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. 
Kontraversi terkait dengan kewajiban CSR bagi perusahaan menunjukan masih adanya kekuatiran bagi sebagian besar perusahaan yang merasa terbebani dengan biaya tambahan baru. Permintaan mereka untuk mendapatkan insentif pajak dari kewajiban CSR yang dilakukannya juga berlebihan. Semangat utama CSR sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap keadaan lingkungan sosial di sekitar lokasi industrinya, menjadi bias dengan logika untung rugi. Apalagi, sejak awal konsep CSR dikesankan bersifat moralis, lebih bermakna sebagai suatu tindakan filantropi, altruistik, kebaikan budi, bukan kewajiban. 
Harus diakui, selama ini sudah ada kesadaran dari perusahaan untuk menerapkan tanggungjawab sosial. CSR sudah menjadi bagian dari strategi bisnis dalam upaya menambah nilai positif perusahaan di mata publik yakni membangun image perusahaan. Beberapa perusahaan bahkan melihat CSR sebagai bagian dari manajemen risiko. Mengembangkan program CSR yang berkelanjutan dan berkaitan dengan bidang usaha merupakan konsekuensi mekanisme pasar. Kesadaran ini menjadi tren global seiring semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip HAM. 
Sayangnya, banyak perusahaan yang terjebak pada konsep CSR yang parsial. Aktivitas yang dilakukannya biasanya bersifat sesaat, tidak berkelanjutan, dan menempatkan masyarakat sebagai obyek untuk kepentingan perusahaan semata. Akibatnya, tingkat kebergantungan terhadap bantuan perusahaan menjadi tinggi, dan masyarakat menjadi sulit untuk mandiri. Untuk itu perlu dirancang aktivitas CSR sedemikian rupa agar berkelanjutan dan relevan dengan core competence dari perusahaan. Hanya aktivitas yang berkelanjutan yang akan menguntungkan masyarakat dan akan menempatkannya sebagai subyek. Mungkin bisa berupa program pemberdayaan masyarakat, dan capacity building.
Disinilah pemerintah mesti menyamakan persepsi tentang bentuk CSR yang akan dijalankan sebuah perseroan. Sebab tanpa pemahaman yang jelas, aktivitas tanggung jawab sosial hanya akan terpuruk menjadi jargon dan akan bersifat kontraproduktif. Bagaimanapun responbsibility dalam konsep CSR merupakan salah satu prinsip dalam good coorporate government (GCG). Tiga prinsip lainnya adalah fairness, transparency, dan accountability, juga menjadi bagian yang tak terpisahkan sehingga harus saling menopang.  
Prinsip transparansi menuntut perusahaan untuk memaparkan dan mengkomunikasikan kebijakan dan praktik-praktik yang dijalankannya, terutama yang berdampak pada karyawan, masyarakat dan lingkungan. Sedangkan dalam akuntabilitas, pemangku kepentingan mengharapkan perusahaan memiliki kinerja yang baik dalam bidang non-finansial seperti dalam hak asasi manusia, peningkatan kapasitas, kebijakan lingkungan dll. Targetnya yakni membuat seluruh praktik bisnis tidak hanya bertanggung jawab secara sosial, tapi juga akuntabel dan transparan dengan membuat standar audit sosial bisnis. 
Regulasi yang disahkan oleh DPR dengan demikian diharapkan dapat menjamin bahwa CSR harus memenuhi prinsip GCG. International Organization for Standardization (ISO) yang tengah menggodok konsep Guidance on Social Responsibility standar diharapkan mengadopsi prinsip itu. Perusahaan juga harus memikirkan program yang dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, misalnya dikaitkan dengan Millennium Development Goals (MDG). Ditingkat pelaksanaan, perlu dibuat peraturan yang lebih detail dan jelas tentang bagaimana sebuah perusahaan melakukan program CSR sesuai GCG. 
Karena kewajiban CSR ini hanya ditujukan kepada perusahaan yang mengelola SDA, mereka bisa diminta mengadopsi prinsip EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) dalam kegiatan itu. Prinsip utama EITI ini adalah membuka dan memverifikasi semua pembayaran baik dari perusahaan kepada pemerintah maupun yang diterima pemerintah dari perusahaan, dan adanya auditor independen. Dengan terbukanya apa yang diberikan perusahaan SDA kepada pemerintah, dan apa yang diperoleh pemerintah dari perusahaan itu, diharapkan masyarakat bisa mengetahui kesesuainnya, termasuk anggaran untuk CSR. Kegiatan CSR dengan demikian bisa dikelola transparan.
Untuk itu, kontraversi kewajiban CSR bagi perusahaan mesti diakhiri, karena UUPT sudah disahkan, dan pernyataan pemerintah sudah jelas bahwa pelaksanaan tanggungjawab sosial itu dilaksanakan oleh perusahaan SDA. Hanya saja kegiatan ini mesti dikontrol secara ketat baik oleh perusahaan itu sendiri, pemerintah dan masyarakat setempat. Jangan sampai dana sosial dari perusahaan ini diselewengkan oleh organisasi atau partai politik untuk kepentingan kekuasaan, sehingga melenceng jauh dari semangat CSR. Transparansi dalam pengelolaan kegiatan ini juga diperlukan untuk menghindari terjadi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga program ini benar-benar dapat menyelesaikan problem sosial dan lingkungan yang terjadi di sekitar lokasi industri.

0 komentar:

Posting Komentar