Rabu, 28 Januari 2009

Akhir-akhir ini masalah pengelolaan aset badan usaha milik negara (BUMN) banyak mendapat sorotan. Harus diakui, dalam pengelolaan aset BUMN masih banyak ditemui kendala yang sulit diatasi dengan tepat dan cepat. Salah satu kendalanya adalah masih kuatnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat bertentangan dengan prinsip good corporate governance (GCG). Saat ini GCG telah menjadi isu sentral di masyarakat, termasuk lingkungan BUMN. Konsep GCG merupakan konsep yang telah mendunia dan perannya cenderung meningkat di era globalisasi. Dalam konsep itu, perusahaan-perusahaan dapat menjalin jaringan melewati batas-batas negara dan budaya.
Ketentuan yang mengatur pengelolaan BUMN sesuai Pasal 4 SK Menteri BUMN No KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan GCG pada BUMN, antara lain bertujuan untuk mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien. Menteri BUMN, dalam seminar “Optimalisasi Aset BUMN”, di Jakarta, 12 Desember 2006 lalu, menyatakan bahwa pengelolaan aset-aset BUMN yang tidak optimal menyebabkan hilangnya potensi tambahan nilai pasar. Seluruh aset BUMN yang mencakup lahan dan properti memiliki nilai buku Rp 1.300 triliun. Bila itu dapat dimanfaatkan secara optimal, maka nilai pasar aset-aset itu dapat mencapai tiga hingga lima kali lipat dari nilai buku tersebut. Selain itu, aset-aset tersebut juga berpotensi memberikan kontribusi besar bagi perbaikan kinerja BUMN.
Beberapa waktu lalu, Umar Juoro, Direktur Center for Information & Development Studies (CIDES) dalam sebuah seminar mengenai “Transparansi Pengelolaan dan Langkah Hukum Terhadap Penyalahgunaan Aset Negara”, menyatakan, akuntabilitas pengelolaan aset negara di Indonesia ternyata masih rendah. Kondisi BUMN berdasarkan laporan keuangan tahun 2004 dari 158 BUMN, ternyata ada 31 BUMN mengalami kerugian sebesar Rp 4,5 triliun. Laba yang diperoleh dari 127 BUMN sebesar Rp 29,6 triliun, sedangkan total aset seluruh BUMN mencapai Rp 1.313 triliun. Dengan demikian, return on asset (ROA) yang dicapai BUMN hanya 2,49 persen dan return on equity (ROE) hanya 6,10 persen.
Pada akhir tahun 2005 total aset yang dikelola oleh seluruh BUMN lebih dari Rp 1.400 triliun. Namun, bila diamati lebih lanjut, ternyata banyak aset BUMN yang belum dikelola secara profesional dan efisien. Selain itu, masih terdapat beberapa aset di BUMN yang tidak digunakan secara produktif dan tidak digunakan dalam proses produksi. Bahkan masih terdapat aset yang dibiarkan tidak terurus (terlantar). Hal itu dapat mengakibatkan rendahnya pencapaian ROA bagi BUMN yang bersangkutan. Aset-aset BUMN yang dibiarkan terlantar, misalnya tanah atau bangunan, kemungkinan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya dapat menimbulkan sengketa, dan penyelesaiannya memerlukan waktu berlarut-larut.
Oleh karena itu, sudah saatnya BUMN melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap aset-aset yang dimilikinya. Setiap aset yang dikelola oleh BUMN seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan profit dalam bentuk pemasukan kas (cash inflow) sehingga bernilai tambah (value added). Beberapa waktu lalu, sering terjadi kasus adanya ruislag tanah dan bangunan milik BUMN dengan pihak ketiga (swasta) yang berakibat merugikan BUMN. Pada saat ini seharusnya hal tersebut dapat dihindari oleh manajemen BUMN. Bila ditemukan adanya indikasi KKN dalam pengelolaan aset BUMN, maka dapat dilakukan audit investigasi oleh pihak yang berwenang. Misalnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan aparat lain.
Aset BUMN harus dikelola secara profesional dengan prinsip kehati-hatian serta memperhatikan prinsip GCG, yaitu transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran. Dalam era persaingan global, maka penerapan prinsip GCG sudah bukan merupakan kewajiban, tetapi suatu kebutuhan perusahaan sehingga eksistensi BUMN dapat dipertahankan dan berkesinambungan. Pengelolaan aset BUMN harus dapat memenuhi prinsip pertanggungjawaban. Artinya aset BUMN dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Manajemen BUMN juga perlu memperhatikan adanya keputusan Menteri Keuangan maupun Menteri BUMN yang mengatur tentang pengelolaan aset (aktiva tetap), termasuk ketentuan yang mengatur masalah pelepasan aset atau penjualan aset non produktif. Pengelolaan aset BUMN harus memenuhi prinsip kewajaran. Artinya perlu diperhatikan masalah keadilan dan kesetaraan. Bila terdapat kontrak/kerja sama yang terkait dengan pihak ketiga dalam pengelolaan aset BUMN, hendaknya dihindarkan adanya perlakuan istimewa yang tidak sesuai dengan prinsip GCG.
Bila manajemen BUMN dapat mengelola asetnya sesuai dengan prinsip-prinsip GCG diharapkan dapat diperoleh 5 (lima) manfaat. Pertama, BUMN memperoleh nilai perusahaan (corporate value) secara maksimal. Kedua, BUMN memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional. Ketiga, kontribusi BUMN kepada pemerintah berupa dividen dan pajak lebih meningkat, sehingga dapat mendukung bangkitnya perekonomian nasional. Keempat, pengelolaan BUMN lebih transparan, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kelima, Kinerja BUMN akan lebih bagus karena ROA lebih baik. Berbagai upaya untuk mewujudkan GCG di BUMN perlu kita dukung bersama. Namun seperti halnya banyak gerakan/ program di negara kita selama ini, termasuk di lingkungan BUMN, sering hanya menjadi demam sesaat, kurang menyentuh tataran implementasi dalam pengelolaan aset BUMN

Sabtu, 24 Januari 2009

Good Corporate Governance

Secara sederhana, Good Corporate Governance (GCG) adalah proses, sistem dan struktur yang memungkinkan lima prinsip dalam operasional perusahaan bisa terealisasi, yakni: independensi, transparansi, akuntabilitas, fairness, dan responsibilitas. Struktur yang tertib, misalnya ada komisaris independen, komite audit, komite vendor, atau komite-komite lainnya, yang memungkinkan sistem dan proses perusahaan berjalan di atas rel yang lempang. Dan bila hal ini bisa diterapkan, perusahaan sungguh memiliki fondasi yang amat kuat untuk menciptakan keunggulan daya saing sehingga berkelanjutan.

Jadi, idealnya, langkah pertama menerapkan GCG adalah membuat proses, sistem, dan struktur yang memungkinkan lima prinsip direalisasikan. Pertanyaannya, akankah landasan ini membawa keunggulan bersaing? Apakah GCG membuat perusahaan sukses secara finansial? Dan apakah perusahaan pada akhirnya bisa tumbuh berkelanjutan?
Tony Roland Silitonga, Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Corporate Directorship mengungkapkan, penelitian McKinsey terakhir menunjukkan bahwa investor beraset minimum US$ 300 miliar menyatakan lebih percaya pada perusahaan berdasarkan indeks GCG-nya ketimbang financial statement.
Misalnya, dijelaskan Tony, ada dua perusahaan, A dan B. Perusahaan A sudah menerapkan GCG, sedangkan B tidak. Lalu, katakanlah kondisi dua perusahaan ini sama, baik jenis bisnis maupun jumlah pegawainya. ”Dia (investor) akan memberi A (harga) 27% premium. Kalau dia beli B Rp 100 miliar, maka dia akan beli A Rp 127 miliar,” ujarnya. ”Jadi GCG itu akhirnya jadi money talk, make profit for the company. Dan make profit-nya bukan shot-term, tapi menjadi sustainable for the long-term,” lanjut kelahiran 29 Oktober 1962 ini.
Perkara sustainabilitas sebetulnya bukan omong kosong. Logika sederhana saja mengajarkan satu hal: GCG menjadikan pengelolaan risiko bisnis lebih terkendali. Hanya saja, Tony melihat, masih banyak kendala yang membuat praktik tata pamong perusahaan ini diemohi, atau tidak dijalankan secara serius. Dari sisi eksternal – terutama bagi yang belum mempraktikkannya – GCG dianggap sesuatu yang mengawang-awang. Seolah-olah, disebutkan Tony, harus panggil konsultan, mengangkat komisaris independen lebih dulu, dan segala tetek bengek lainnya yang dianggap hanya memboroskan dana.
Adalah benar praktik GCG yang baik memerlukan struktur yang tertib. Itu idealnya. Akan tetapi, untuk menerapkan lima prinsip di atas (akuntabilitas, dan seterusnya), pada hakikatnya, proses dan sistemlah yang berperan sangat penting. Bahkan, menurut Gopinath Menon, Penasihat Teknis Pricewaterhouse Coopers, hal terpenting dalam GCG adalah mengimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, menginternalisasikannya, dan bukan sekadar basa-basi membuat struktur yang mematuhi regulasi. Perusahaan harus benar-benar menciptakan lingkungan yang memungkinkan diterapkan dan diinternalisasikannya lima prinsip di atas. Caranya?
Paling wahid, aspek leadership memegang peranan. Menurut Tony, pemimpin lebih dulu harus menciptakan iklim transparansi. Dewan komisaris dan direksi harus menceritakan apa yang terjadi di perusahaan, tak terkecuali seputar kinerja keuangan, apakah untung atau rugi, dan bagaimana pembagian keuntungannya. Setelah transparansi, tahap selanjutnya menciptakan kerangka untuk lahirnya responsibilitas. Tony mencontohkan, Beyond Petroleum (BP) membuat aturan bahwa jika ada pemasok yang memberi karyawan uang di atas US$ 25, si karyawan harus melaporkannya ke Vice President Ethic BP.

Rabu, 21 Januari 2009

Kasus Audit Phar Mor

Sejarah mencatat kasus phar mor inc sebagai kasus yang melegenda di kalangan auditor keuangan. Eksekutif Phar Mor sengaja melakukan fraud untuk mendapat keuntungan financial yang masuk ke dalam saku pribadi individu di jajaran top manajemen.
Dalam melakukan fraud, top manajemen Phar Mor membuat dua laporan keuangan yakni, laporan inventory dan laporan bulanan keuangan (monthly financial report). Dan kedua laporan ini kemudian
dibuat ganda oleh pihak manajemen. Satu set laporan inventory berisi laporan inventory yang benar (true report,), sedangkan satu set laporan lainnya berisi informasi tentang inventory yang di adjusment dan ditujukan untuk auditor eksternal. Demikian juga dengan laporan bulanan keuangan, laporan keuangan yang benar berisi tentang kerugian yang diderita oleh perusahaan ditujukan hanya untuk jajaran eksekutif. Laporan lainnya adalah laporan yang telah dimanipulasi sehingga seolah-olah perusahaan untung berlimpah. Dalam mempersiapkan laporan-laporan tersebut, manajemen Phar Mor sengaja merekrut staf dari akuntan publik (KAP) Cooper &Lybrand, staf –staf tersebut kemudian turut dimainkan dalam fraud tersebut dan sebagai imbalan telah membuat laporan ganda mereka diberikan kedudukan jabatan penting.
Teori-teori dalam internal audit yang berkaitan dengan kasus Phar Mor Inc.
Salah satu syarat agar internal audit bisa berfungsi, yaitu fungsi dari teori contol environment. Pengertian dari contol environment sendiri adalah komponen yang meliputi sikap manajemen di semua tingkatan terhadap operasi secara umum dan konsep kontrol secara khusus. Hal ini mencakup : etika, kompetensi, serta integritas dan kepentingan terhadap kesejahteraan organisasi. Juga mencakup struktur organisasi serta kebijakan dan filosofi manajemen
Control Environment yang terdiri atas :
ü Struktur organisasi
Berdasarkan tanggung jawab masing-masing manajer untuk mengambil keputusan dan menetapkan kebijakan organisasi dan batas kewenangan.
Elemen kerangka kontrol, mencakup:
ü Pemisahan tugas-tugas yang bersesuaian; seorang karyawan atau organisasi tidak boleh mengendalikan semua tahap dari proses yang dilalui organisasi.
ü Kompetensi dan integritas orang-orang di organisasi.
Tingkatan otoritas dan tanggung jawab yang sesuai.
Kemampuan untuk menelusiri setiap transaksi ke individu yang bertanggung jawab.
ü Ketersediaan sumber daya, waktu, dan karyawan yang ahli memadai.
Pengawasan staf dan pemeriksaan kerja yang sesuai.
Kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang didokumentasikan dengan baik dan dapat menjelaskan lingkup fungsi, aktivitas, dan berkaitan dengan departemen-departemen lainnya. Kebijakan berarti arah, prosedur menjelaskan, cara menerapkan dan bagaimana mengikuti kebijakan tersebut.
ü Pengaruh-pengaruh eksternal mencakup persyaratan fidusiari, hukum dan regulasi, ketentuan kontrak, adat istiadat, kebiasaan, ketentuan serikat organisasi, dan lingkungan yang kompetitif.
Dalam kasus Phar Mor, fungsi contol environment telah dikesampingkan. Control environment sangat ditentukan oleh attitude dari manajemen. Idealnya, manajemen harus mendukung penuh aktivitas internal audit dan mendeklarasikan dukungan itu ke semua jajaran operasional perusahaan. Top manajemen Phar Mor tidak menunjukan attitude yang baik. Manajemen kemudian justru merekrut staf auditor dari KAP Cooper & Librand untuk turut dimainkan dalam fraud.
Teori lainnya yang terdapat di dalam kasus Phar Mor adalah The fraud Triangle. Yaitu teori yang menerangkan tentang penyebab fraud terjadi. Menurut teori ini, penyebab fraud terjadiakibat tiga hal, yaitu :
1. Insentive/Pressure; adalah ketika manajemen atau karyawan mendapat insentive atau justru mendapat pressure ( tekanan ) sehingga mereka “ commited “ untuk melakukan fraud.
2. Opportunity; adalah peluang terjadinya fraud akibat lemahnya atau tidak efektifnya control sehingga membuka peluang terjadinya fraud.
3.Rationalizatio/Attitude; adalah teori yang menyatakan bahwa fraud terjadi karena kondisi nilai-nilai etika lokal yang membolehkan terjadinya fraud.
Dalam kasus Phar Mor Inc, setidaknya manajemen telah membuktikan satu dari tiga unsur The fraud Triangle, yaitu :
Insentive; dimana Top manejemen sengaja merekrut staf dari KAP Cooper & Librand dengan insentive berupa posisi sebagai Vice President bidang financial dan kontroler. Yang dikemudian hari ternyata terbukti turut terlibat aktif dalam fraud di Phar Mor Inc.

Sabtu, 17 Januari 2009

Kode Etik Internal Auditor

Kode etik IIA adalah pedoman bertingkah laku yang dikeluarkan oleh The Institute of Internal Auditor atau IIA. Kode etik tersebut tidak dapat diberlakukan bagi setiap orang, bahkan tidak pula ditujukan bagi semua pengawas internal. Kode etik tersebut disusun secara khusus sebagai pedoman bagi anggota IIA. Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, para anggota memahami bahwa IIA dapat mencabut keanggotaa mereka apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap kode etik.

Kode etik IIA secara jelas menyatakan bahwa para anggotanya ada kalanya perlu menggunakan penilaian dalam penerapan berbagai prinsip yang dicakup oleh kode etik. Dalam memberikan penilaian terhadap suatu situasi yang kompleks, pengawas internal harus melihat berbagai hal dan pertimbangan yang sering kali saling bertentangan. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, pengawas internal harus berusaha mengidentifikasikan sasaran utama yang dikehendaki oleh kode etik, dan menjadikannya sebagai pertimbangan tertinggi dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Kode etik memiliki delapan pasal. Pasal satu sampai tujuh terutama sekali membicarakan kewajiban pengawas internal terhadap perusahaan. Penilaian yang objektif terhadap kode etik IIA akan menghasilkan kesimpulan bahwa sasaran utama kode etik IIA adalah loyalitas pengawas internal kepada perusahaan. Kode etik IIA ingin menciptakan suatu ikatan yang khusus antara pengawas internal dan perusahaan. Hal yang akan mengikat mereka adalah rasa percaya yang diberikan oleh perusahaan kepada pengawas internal dan loyalitas yang diberikan oleh pengawas internal kepada perusahaan.
Berikut ke delapan pasal Kode Etik IIA :
Pasal 1
Para anggota berkewajiban untuk bersikap jujur, objektif, dan tekun dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab lainnya.
Pasal ini memerintahkan agar pengawas internal menerapkan tiga kualitas khusus dalam melaksanakan tugasnya. Karena tugas dan tanggung jawab pengawas internal ditetapkan oleh manajemen dan atau dewan direksi, kita dapat menyimpulkan kode etik secara khusus menghendaki agar pengawas internal
Bersikap sesuai dengan kenyataan, terus terang, jujur dalam hubungan dengan pihak perusahaan; dan bersikap hati-hati dan teliti, serta menghindari perasaan keberpihakan, dalam segala hal yang dipastikan, dinilai, dan direkomendasikannya kepada perusahaan.
Pasal 2
Para anggota, alam menjalankan kepercayaan yang diberikan perusahaan, harus menunjukkan loyalitas dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungannya dengan perusahaan atau pihak lain yang mungkin akan menerima jasa pengawas internal. Walau demikian, para anggota tidak boleh sengaja turut ambil bagian dalam suatu aktivitas yang ilegal atau tidak sepantasnya dilakukan.
Pasal 2 kode etik IIA menghendaki adanya suatu hubungan yang didasari oleh rasa percaya dan loyalitas antara pengawas internal dan perusahaan. Pasal ini tidak menyebutkan batasan loyalitas yang harus diberikan oleh pengawas internal, namun kita dapat menyimpulkan bahwa pengawas internal haruslah loyal sepanjang loyalitasnya tidak melibatkan dirinya dalam suatu aktivitas ilegal atau tidak sepantasnya.
Pasal 3
Para anggota tidak boleh terlibat dalam suatu aktivitas yang mungkin memiliki kepentingan bertentangan dengan kepentingan perusahaan, atau akan menimbulkan anggapan bahwa mereka tidak dapat lagi menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya secara objektif.
Pasal 4
Para anggota tidak boleh menerima bayaran atau hadiah dari para karyawan, klien, pelanggan, atau rekan usaha perusahaan mereka, tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari manajemen senior.
Pasal 5
Para anggota harus menggunakan segala informasi yang diperoleh dalam menjalankan tugasnya dengan bijaksana. Para anggota tidak boleh menggunakan suatu informasi yang harus dirahasiakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk hal-hal lain yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Tidak seperti para pegawai lain pada umumnya, jenis pekerjaan yang dilakukan serta berbagai akses khusus yang dimilikinya menyebabkan pengawas internal dapat memperoleh informasi yang belum tentu tersedia bagi pihak lain. Sebagian informasi tersebut mungkin bersifat rahasia atau sensitif.
Pada kenyataannya, pengawas internal memiliki reputasi yang baik dalam menjaga berbagai informasi pemeriksaan yang dilakukannya. Meskipun demikian, pengawas internal perlu bersikap sangat hati-hati karena mungkin saja tidak bermaksud membocorkan informasi yang diketahuinya, namun tanpa sadar telah diperalat oleh pihak lain yang memiliki suatu rencana terhadap perusahaan tempat pengawas internal bekerja.
Kertas kerja yang disusun oleh akuntan publik menjadi milik akuntan publik, sedangnkan berbagai dokumen yang dipersiapkan oleh pengawas internal menjadi milik perusahaan. Penyimpanan berbagai dokumen pengawasan internal terutama sekali diatur berdasarkan tiga pertimbangan, yaitu :
1. Ketentuan yang bersifat memaksa, bila ada;
2. Ketentuan yang bersifat mengatur, bila ada;
3. Kebutuhan perusahaan, termasuk kebutuhan satuan pengawasan internal sendiri.
Pasal 6
Para anggota, dalam mengungkapkan suatu pendapat, harus mengerahkan segenap ketelitian dan perhatian yang sepantasnya dilakukan untuk memperoleh bukti faktual yang memadai guna mendukung pendapatnya tersebut. Dalam membuat laporan, para anggota harus mengemukakan segala bukti dan kebenaran materil yang mereka ketahui yang, apabila tidak dikemukakan, akan berpengaruh terhadap laporan tentang hasil-hasil dari kegiatan-kegiatan yang diperiksa atau dilindungi suatu kegiatan yang bertentangan dengan hukum.
Pasal ini mewajibkan pengawas internal untuk bersikap tekun dan jujur dalam menyusun dan menyampaikan laporan kepada pimpinan perusahaan. Pasal ini secara tegas menyatakan kewajiban pengawas internal untuk melaporkan adanya suatu praktek yang melawan hukum kepada pejabat yang bertanggung jawab di dalam perusahaan.
Berdasarkan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa perusahaan, dalam hal ini manajemen, berhak mengetahui informasi pengawas internal pada saat melaksanakan pemeriksaan. Pengawas internal berkewajiban menjaga agar perusahaan tidak dirugikan, mengingat kegiatan ilegal tersebut terjadi dalam aktivitas yang sedang diperiksanya.
Pasal 7
Para anggota harus berusaha untuk meningkatkan kecakapan dan keefektifan dalam menjalankan pekerjaannya.
Pasal ini tidak menyarankan agar pengawas internal meningkatkan kecakapan dan keefektifan demi alasan ambisi, pendapatan, kebanggaan, kepuasan diri, atau perwujudan diri. Pasal ini memandang usaha peningkatan tersebut semata-mata sebagai kewajiban etis pengawas internal terhadap perusahaan.
Pasal 8
Para anggota harus mematuhi hukum dan menjunjung tinggi tujuan IIA. Dalam menjalankan profesinya, para anggota harus selalu ingat akan kewajibannya untuk mempertahankan standar kompetensi, moralitas, dan martabat yang tinggi, yang telah ditetapkan oeh IIA dan para anggotanya.
Pasal ini dipandang sebagai usaha untuk memperkuat berbagai kewajiban auditor pada perusahaan, sebagaimana telah dijabarkan pada tujuh pasal sebelumnya.

Rabu, 14 Januari 2009

Pusat-pusat pertanggungjawaban individu berfungsi sebagai kerangka kerja untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja dari manajer segmen. Kinerja manajer dalam kerangka kerja akuntansi pertanggungjawaban disamakan dengan kemampuan mereka untuk mengelola factor-faktor operasional tertentu yang dapat dikendalikan. System tersebut tidak mampu mengukur dan mengevaluasi kinerja secara total, yang selain itu akan memasukkan factor-faktor seperti pengendalian mutu, tingkat moral bawahan, dan kualitas pimpina. Factor-faktor tersebut harus diukur dan dievaluasi dengan cara lain.
Pusat pertanggungjawaban dikelompokkan ke dalam empat kategori,
yang masing-masing mencerminkan rentang dan diskresi atas pendapatan dan/ atau biaya serta lingkup pengendalian dari manajer yang bertanggung jawab. Pusat pertanggungjawaban tersebut dapat berupa :
1. Pusat biaya (Cost Center); merupakan bidang tanggung jawab yang menghasilkan suatu produk atau memberikan suatu jasa. Manajer yang bertanggungjawab atas pusat biaya memiliki diskresi dan kendali hanya atas penggunaan sumber daya fisik dan manusia yang diperlukan untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
2. Pusat pendapatan (revenue center); jika tanggung jawab utama dari seorang manajer adalah penghasilan pendapatan, maka segmennya sebagiknya diperlakukan sebagai pusat pendapatan. Manajer pusat tidak mempunyai diskresi maupun pengendalian terhadap investasi pada aktiva atau biaya lain dari barang atau jasa yang akan dijual.
3. Pusat laba (Profit center); adalah segmen di mana manajer memiliki kendali baik atas pendapatan maupun atas biay, manajer dievaluasi berdasarkan efisiensi mereka dalam menghasilkan pendapatan dan mengendalikan biaya. Diskresi yang mereka miliki terhadap biaya meliputi beban produksi dari produk atau jasa. Tanggung jawab mereka adalah lebih luas dibandingkan dengan tanggung jawab dari pusat pendapatan atau pusat biaya karena mereka bertanggung jawab atas fungsi distribusi dan manufaktur.
4. Pusat investasi (investment center); bertanggung jawab terhadap investasi dalam aktiva serta pengendalian atas pendapatan dan biaya. Mereka bertanggung jawab untuk mencapai margin kontribusi dan target laba tertentu serta efisiensi dalam penggunaan aktiva.

Sabtu, 10 Januari 2009

Akuntansi pertanggungjawaban tidaklah melibatkan deviasi apa pun dari prinsip akuntansi yang diterima secara umum. Akuntansi pertanggungjawaban berbeda dengan akuntansi konvensional dalam hal cara operasi direncanakan dan cara data akuntansi diklasifikasikan serta diakumulasikan. Dalam akuntansi konvensional, data diklasifikasikan berdasarkan hakikat atau fungsinya dan tidak digambarkan sebagai individu-individu yang bertanggung jawab atas terjadinya dan pengendalian terhadap data tersebut.

Akuntansi pertanggungjawaban meningkatkan relevansi dari informasi akuntansi dengan cara menetapkan suatu kerangka kerja untuk perencanaan, akumulasi data, data pelaporan yang sesuai dengan struktur organisasional dan hierarki pertanggungjawaban dari suatu perusahaan.
Oleh karena itu, akuntansi pertanggungjawaban tidak mengalokasikan biaya gabungan ke segmen-segmen yang memperoleh manfaat daripadanya melainkan membebankan biaya tersebut kepada individu di segmen yang menginisiasi dan mengendalikan terjadinya biaya tersebut.
Akuntansi pertanggungjawaban melaporkan baik siapa yang membelanjakan uang tersebut maupun apa yang dibeli oleh uang tersebut. Oleh karena itu, akuntansi pertanggungjawaban menambahkan dimensi manusia pada perencanaa, akumulasi data, dan pelaporan. Karena biaya yang dianggarkan dan diakumulasikan sepanjang garis tanggung jawab, laporan yang diterima oleh manajer segmen sangat sesuai untuk evaluasi kinerja dan alokasi penghargaan.

Kamis, 08 Januari 2009

Asumsi yang pertama berarti bahwa asset dinilai dengan asumsi bahwa perusahaan akan terus berlangsung pada periode yang tidak terbatas; oleh karena itu, the values taken are not the value which the assets or liabilities will fetch in the market on the balance sheet date. Asumsi demikian ini menurut Bhattacharya dikatakan, bahwa “this assumption makes the life of accountants easier, since otherwise, they will have to enquire into the market price of each asset on the balance sheet date.”[49]Oleh karena itu, jika kita memilih atau mengadopsi metode Current Cash Equivalent untuk penilaian asset maka asumsi going concern tidak diperlukan lagi.

Banyak praktik-praktik akuntansi dan pelaporan memerlukan pertimbangan disebabkan kejadian ekonomi mendatang yang tidak pasti.. Konservatisme adalah suatu usaha untuk menjamin bahwa resiko atau tingkat ketidak pastian dalam suatu usaha dipertimbangkan memadai. Dibawah Konservatisme, jika terdapat dua alternatif atau lebih, memiliki kemampuan sama memenuhi objektivitas dari laporan keuangan, alternatif yang memiliki paling sedikit memberi manfaat dampak perolehan laba dan posisi keuangan yang dipilih. Konservatisme tidak memberikan pengaruh atas keberhati-hatian, konsistensi dalam menyatakan harta bersih dan laba yang kekecilan, melainkan sesuatu metode yang digunakan dalam ketidak pastian tentang arus kas dimasa datang
Asumsi concervatism berarti bahwa if there is a possibility of any loss it must be provided for, whereas if there is a doubt about any income, it must not be include in the profit.[50] Kaidah ini adalah sah sepanjang digunakan untuk menjelaskan kondisi historical cost. Sekalilagi, jika kita mengadopsi metode Current Cash Equivalent untuk penilaian asset maka asumsi going concern tidak diperlukan lagi. Maka yang tepat adalah menggunakan nilai pasar, apakah kita akan mengarahkan pada kerugian atau untung. Implikasinya, kita dapat mengatakan bahwa konsep last-in-first-out (LIFO), adalah yang dianjurkan untuk digunakan dalam mengevaluasi persediaan pada kondisi yang paling rendah pada saat terjadi inflasi, atau provisi untuk hutang yang diragukan, mungkin harus diabaikan.[51] Dengan demikian jelas, bahwa jika kita menggunakan metode Current Cash Equivalent untuk penilaian asset maka dua asumsi tersebut tidak akan digunakan.
Metode ini menolak harga pada masa lalu, sebab ia tidak relevan untuk kegiatan (actions) masa yang akan datang. Pada saat yang sama kejadian tersebut tidak dapat diterima sebagai dasar yang valid  untuk cash-flows di masa yang akan datang, sebab data-datanya sangat subyektif. Walaupun (instead), metode ini mencoba menentukan current cash equivalent dalam pasar kontemporer. Chambers berpandangan bahwa kemungkinan untuk menentukan nilai pasar untuk jenis-jenis aset. Tetapi, jika tidak mungkin dilakukan, maka aset akan valueless dan tidak akan muncul dalam laporan keuangan. Metode ini memiliki beberapa perbedaan dengan metode-metode yang lain dalam penilaian, yaitu:
  1. Metode ini melukiskan situasi kehidupan nyata bagi akuntan. Nilai neraca yang ditutup adalah sama dengan neraca yang terjadi saat ini.
  2. Metode ini meminimkan unsure subyektif dalam penilaian asset.
  3. Membenarkan konsep teori proprietary dan konsep Islam dalam perhitungan zakat, metode ini menekankan posisi kekayaan yang dinilai daripada penerimaan dan biaya. Metode ini menentukan laba dengan menilai asset dan kewajiban dan tidak hanya me-match-kan penerimaan dengan biaya, yang melibatkan asumsi-asumsi subyektif mengenai alokasi biaya dan rekognisi penerimaan.
  4. Hal yang sangat penting dari sudut pandang Islam, adalah bahwa metode ini diadopsi sebagai dasar penilaian yang baik untuk menghitung zakat. Kita tidak haus menyiapkan seperangkat [aturan] akuntansi untuk maksud ini.
  5. Metode ini tidak melepaskan kebutuhan akan akuntansi inflasi, yang menimbulkan bebeapa kontroversi dalam profesi akuntansi. Nilai atas asset yang dinilai adalah berdasarkan pada nilai pasar, yang memasukkan efek inflasi, jika ada.
Akan tetapi metode ini memiliki satu keterbatasan yang serius, yaitu metode ini mengeluarkan asset yang tidak memiliki nilai pasar, asset yang tidak berwujud atau sarana khusus yang non-vendible, walaupun Chambers menyarankan suatu jalan keluar atas kesulitan ini dengan mengajukan beberpa penyesuaian.[48]  Kami sedang melakukan penelitian yang diperlukan untuk memperbaiki konsep ini dalam kerangka Islam. Akan tetapi sampai saat ini apa yang disampaikan oleh Chambers adalah yang paling tepat untuk tujuan syari’ah.

Minggu, 04 Januari 2009

HISTORICAL COST

Secara umum, dalam akuntansi konvensional, laporan keuangan disajikan berdasarkan nilai historis yang mengasumsikan bahwa harga-harga (unit moneter) adalah stabil. Akuntansi konvensional tidak mengakui adanya perubahan tingkat harga umum maupun perubahan tingkat harga khusus. Sebagai konsekuensinya, jika terjadi perubahan daya beli seperti pada periode inflasi, maka laporan keuangan histories secara ekonomis tidaklah relevan. Pada periode ini pendapatan umumnya dinilai lebih tinggi sedangkan aktiva tetap dinilai lebih rendah
Secara umum laporan keuangan disusun
berdasarkan nilai historis (historical cost accounting) yaitu menggunakan harga pada saat transaksi dan menganggap bahwa harga-harga akan stabil. Penyusunan laporan keuangan berdasarkan nilai histories tidak mencerminkan adanya perubahan daya beli, sehingga laporan keuangan yang dihasilkan kurang mampu mencerminkan keadaan sebenarnya jika terjadi perubahan harga. Hal tersebut akan menyebabkan ketidakakuratan dan ketidaktelitian dari laporan keuangan yang disajikan sehingga pihak intern maupun ekstern perusahaan dapat kehilangan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Dengan sendirinya laporan keuangan tersebut tidak dapat digunakan untuk mengambil keputusan begitu saja tanpa adanya tambahan informasi.
Terjadinya perubahan daya beli terutama inflasi yang cukup tinggi akan menyebabkan semakin tinggi ketidakakuratan laporan keuangan yang dihasilkan. Agar dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya atau paling tidak mendekati keadaan yang sebenarnya, laporan keuangan dapat disusun dengan menggunakan akuntansi tingkat harga umum (general price level accounting), yang mampu menyatakan nilai sesungguhnya dari rupiah (daya beli rupiah). Semakin tinggi tingkat inflasi maka semakin besar perbedaan yang dihasilkan antara laporan keuangan yang disusun berdasarkan nilai historis dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan akuntansi tingkat harga umum.

Jumat, 02 Januari 2009

Posting Tugas-Tugas Kuliah

Berhubung masa kuliah sudah mendekati masa akhir, kelas dah gak ada, tinggal konsen ke penyusunan skripsi aja. Memunculkan inisiatif sendiri untuk mengumpulkan tugas-tugas selama kuliah di blog ini. Moga-moga bisa membantu adik-adik yang lagi mencari referensi untuk materi kuliah atau pun penyelesaian tugas-tugas. Keep Browsing!!