Jumat, 13 Februari 2009



Siapapun Anda, Anda pasti tahu persis bahwa cepat atau lambat, sejalan dengan perjalanan usia, karir, profesi, dan bisnis Anda, sejalan dengan berputarnya roda perekonomian, sejalan dengan makin ketatnya persaingan, seiring dengan makin meningkatnya krisis dan resesi, Anda akan lebih sering tampil dan berbicara di hadapan orang lain.

Di hadapan mereka, Anda akan menjalani peran sebagai pemimpin, penjual, pembicara, narasumber, trainer, konsultan, guru atau dosen, dan bahkan pemuka agama atau pejabat dan politikus. Anda butuh keahlian khusus, yaitu keahlian public speaking.

Selain teknik berpresentasi dan teknik berbicara, Anda membutuhkan keahlian lain yang juga mendasar, yaitu keahlian mengasah mentalitas sebagai seorang public speaker.

Dengan mentalitas yang dikembangkan lebih baik, Anda akan menjadi seorang pembicara publik yang handal, yang membuat Anda mampu berbicara dan berpresentasi tentang apapun, kapanpun, di manapun, dan di hadapan siapapun!

Dengan mentalitas Public speaker yang terasah dengan baik, Anda akan mampu menjadikan setiap pengalaman berbicara dan berpresentasi sebagai sebuah pengalaman yang berkesan dan berdampak bagi Anda dan bagi audience Anda.

Dengan mentalitas public speaker yang makin baik, Anda akan menjadi seorang pembicara yang selalu siap mental dan penuh percaya diri di setiap kesempatan untuk berbicara dan berpresentasi.

Dengan mentalitas public speaker yang makin baik, Anda akan mampu merubah rasa percaya diri Anda menjadi unsur "sebab" bagi kemajuan dan kesuksesan Anda.

Bagaimana Anda mengatasi GANGGUAN FISIK berikut ini?

Deg-degan
Jantung berdebar
Keringat dingin di dahi
Telapak tangan dingin dan berkeringat
Banjir keringat di seluruh tubuh
Tangan atau lutut gemetar

Kaki merasa lemas
Suara parau atau bahkan tidak keluar
Pusing atau pandangan berkunang-kunang
Mual-mual atau sakit perut
Wajah pucat atau tegang
Tubuh tidak rileks
Terbata-bata atau suara tidak keluar
Merasa ingin buang air kecil
Tenggorokan terasa kering atau tercekat
Tidak berani menatap audience
Berbicara terlalu cepat atau terbata-bata
Blank atau terdiam terpaku



Bagaimana Anda mengatasi GANGGUAN MENTAL berikut ini?

Anda selalu gugup dan nervous saat berbicara dan berpresentasi

Anda selalu cemas dan khawatir jika sewaktu-waktu diminta berbicara atau berpresentasi

Anda benar-benar grogi saat akan berbicara atau berpresentasi

Anda terganggu karena di antara audience Anda, ada orang-orang yang Anda anggap lebih pintar, lebih hebat, lebih baik, atau lebih tinggi jabatannya

Anda merasa setiap bola mata menatap Anda dengan tajam dan menciptakan rasa tidak nyaman pada diri Anda

Setiap kali diminta untuk berbicara atau berpresentasi, Anda selalu mencari alasan untuk menghindarinya, sekalipun tidak logis dan tidak rasional. "Aduh, saya ada acara nih!" "Mendingan disamber gledek deh!"

Anda selalu merasa bahwa setiap sesi berbicara dan berpresentasi adalah sebuah sesi yang mengandung risiko dan berbahaya bagi Anda

Anda selalu mensabotase diri Anda untuk tampil berbicara dan berpresentasi, dengan alasan belum siap atau belum sempurna

Anda sangat dihantui oleh ketakutan "melakukan kesalahan" jika harus berbicara dan berpresentasi

Anda merasa sangat ingin bahwa jika Anda berbicara dan berpresentasi, segala sesuatu harus "under control"

Anda sangat khawatir bahwa sesi bicara dan presentasi Anda akan dianggap "gagal"

Anda merasa sangat ketakutan karena khawatir "tidak bisa menjawab pertanyaan audience"

Anda sangat khawatir diserang "kepanikan" jika sesi berbicara dan berpresentasi tidak berjalan sebagaimana yang Anda harapkan

Anda sangat terganggu oleh berbagai pertanyaan "bagaimana jika begini?" dan "bagaimana jika begitu?"

Saat berbicara dan berpresentasi, Anda sangat menginginkan audience "takluk" pada Anda sepenuhnya

Setiap kali diminta berbicara atau berpresentasi, Anda melemparkan kesempatan itu kepada orang lain dengan alasan bahwa mereka lebih baik dari Anda

Bagaimanakah semua gangguan itu pada akhirnya menjadi MASALAH BESAR bagi Anda dan bagi orang-orang di sekitar Anda? Padahal kesempatan untuk tampil berbicara dan berpresentasi bisa jadi adalah kesempatan terbaik bagi Anda untuk maju, berprestasi, mencapai cita-cita dan kesuksesan Anda.

Anda telah menyia-nyiakannya sekian lama!

Maukah Anda melakukan terobosan terbaik bagi Anda dan masa depan Anda?




Rabu, 11 Februari 2009

peranan Department of Human Resources Development (HRD) sangatlah penting sehingga adanya suatu kebijakan/ ketentuan personalia yang memadai adalah suatu keharusan mutlak. Sedangkan fungsi Internal Audit hanya dapat membantu melakukan pencegahan terjadinya “employee fraud” maupun “management fraud” melalui kegiatan :
ü Proaktif : mendorong untuk dijalankannya/ ditepatinya ketentuan/ prosedur yang telah ditetapkan
perusahaan, melalui kegiatan audit rutin termasuk konsultansi/ pembinaan dan juga berpartisipasi dalam program pendidikan & pelatihan dibidang risk management, control dan corporate governance untuk dapat merubah jalan pemikiran (mindset) kearah yang lebih positif.
ü Preventif : melakukan pencegahan sedemikian rupa untuk mempersulit terjadinya management fraud. Dalam hal ini diperlukan kerjasama terpadu antara fungsi Internal Audit, HRD dan departemen lain yang terkait untuk bersama-sama menyusun program tsb. Dalam hubungan ini juga diperlukan suatu penilaian terhadap risiko yang dapat menimbulkan terjadinya fraud dan upaya memahami dampak fraud sehingga dapat disusun suatu ketentuan/ prosedur pencegahan timbulnya fraud.
ü Investigasi : Dalam hal kedua kegiatan tsb diatas ternyata tidak efektif maka barulah dilakukan suatu tindak investigasi yang lebih detail untuk memperoleh jumlah kerugian sebagai akibat terjadinya fraud, siapa saja yang terlibat, modus operandi, sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya fraud sebagai bahan perbaikan ketentuan/ prosedur dan pencegahan dikemudian hari. Dalam hal ini diperlukan tenaga internal auditor yang lebih kompeten dalam kegiatan investigasi. Dia harus pula memahami prinsip-prinsip alat bukti/ pembuktian untuk keperluan litigasi/ hukum/ pengadilan serta tindak lanjut hasil audit yang jelas dan tegas dari Direksi/ Komisaris.
Kemudian, Perusahaan harus mempunyai hotline atau jalur komunikasi khusus yang tersedia kapan saja untuk mendengarkan keluhan dan aduan dari para pegawai/pejabat ataupun pihak luar perusahaan yang mengadukan suatu tindakan apa pun yang menyangkut kecurangan atau penyalahgunaan data/informasi/aset/wewenang/otorisasi, dan lain sebagainya, yang disebut whistleblower yang umumnya dilakukan oleh pihak yang lemah dan yang terdiskriminasi yang telah lama mengetahui terjadinya fraud namun tidak mempunyai daya untuk melaporkannya.
Juga harus diingat bahwa fraud tidak dapat dihilangkan sama sekali. Pihak manajemen harus mempunyai kebijakan zero tolerance to fraud (tidak ada toleransi terhadap fraud) dengan memberikan sanksi yang tegas dan keras serta berlaku secara konsisten (equal) antara satu pegawai/pejabat dengan yang lain dari suatu periode ke periode.
Namun kesemuanya itu tidaklah ada artinya apabila tidak disertai dengan “law enforcement” yang jelas, tegas, konkrit dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggung-jawaban, independensi dan keadilan/ kewajaran yang diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Jangan sampai timbul kesan bahwa apabila yang melakukan adalah manager atau staff dapat saja dimaafkan. Tetapi kalau pelakunya adalah “wong cilik” langsung diproses sesuai hukum.

Sabtu, 07 Februari 2009

Faktor-faktor Terjadinya Fraud

Fraud biasanya terjadi karena adanya faktor tekanan atau insentif untuk melakukan kecurangan, dan terdapat peluang untuk melakukannya, serta didukung oleh penyimpangan perilaku individu. Celakanya, kecurangan dalam pelaporan keuangan umumnya “diamini” oleh pimpinan perusahaan. The Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO) dalam salah satu studinya menemukan bahwa kecurangan pelaporan keuangan umumnya terkait dengan manajemen puncak, dan 72% dari kasus yang ada menunjukkan adanya keterlibatan CEO.
Kondisi ini umumnya terjadi pada perusahaan yang tidak memiliki Dewan Komisaris dan Komite Audit yang kuat dan independen.
Pelaku management fraud umumnya : orang yang cukup cerdas tetapi tidak jujur. Bisa juga orang yang memiliki kekuasaan/ wewenang yang luas sehingga dapat mengatur/ menciptakan prosedur yang dianggap logis dan sulit untuk dideteksi dengan dibantu oleh asisten/ bawahannya yang loyal. Management fraud akan terjadi apabila aspek :
ü Condition (situasinya memungkinkan, adanya peluang/ kesempatan untuk.melakukannya),
ü Motivation pada diri pelaku (adanya situasi yang sangat menekan sehingga.mendorong.pelaku.melakukannya),dan
ü Attitude pelakunya (karakteristik Pribadi yang memang dasarnya penipu) tergabung menjadi satu.
Apabila salah satu aspek atau dua aspek tsb diatas tidak ada maka management fraud agak sulit terjadi. Berdasarkan hasil research di Amerika menyebutkan bahwa posisi management fraud mencapai angka cukup tinggi (36% dengan jumlah kerugian lebih besar daripada employee fraud) jika dibandingkan dengan employee fraud (58% dengan jumlah kerugian hanya 1/5 daripada kerugian yang disebabkan oleh management fraud). Penyimpangan sisanya sebesar 6% adalah dengan cara collusion yang menimbulkan kerugian 2 kali lebih besar daripada kerugian akibat management .fraud.
Nortel Networks (Kanada) dicurigai oleh otoritas bursa di Amerika atas penggunaan akun cadangan, dimana sumber dana akun ini tidak jelas, yang kemudian diakui sebagai laba perusahaan, juga tanpa alasan yang jelas. Nortel lalu membayar bonus sebesar US$300 juta, dimana US$80 juta diantaranya adalah untuk eksekutif senior. Rupanya ini merupakan trik supaya perusahaan terlihat untung dan bisa bagi-bagi bonus. Pada tahun 2004, Chief Executive Officer, Chief Financial Officer, dan Controller Nortel akhirnya dipecat karena terlibat dalam rekayasa ini.  Berdasarkan informasi yang dilansir media, Indonesia juga tidak luput dari urusan fraud pelaporan keuangan. Bank Global misalnya, yang melakukan penggelapan uang nasabah yang seharusnya dikonversikan dari deposito ke investasi reksadana, dan laporan keuangan yang dipublikasikan tidak didukung oleh bukti-bukti transaksi yang memadai. Juga Great River yang diduga memanipulasi laporan keuangan, dan setelah ditelaah lebih lanjut ditemui adanya indikasi penggelembungan akun penjualan dan piutang hingga ratusan miliar rupiah, dengan melakukan penambahan nilai asset dan penggunaan dana hasil emisi obligasi tanpa bukti yang jelas.
Berdasarkan hal-hal tsb diatas maka sebenarnya :
Aspek personalia (Motivation dan Attitude) merupakan dua aspek terpenting/ terbesar yang memungkinkan terjadinya management fraud. Kesalahan sejak rekrutmen, penempatan dan pengembangan personalia akan dapat membentuk staff/ karyawan dengan kepribadian yang kurang baik sehingga rentan terhadap peluang/ kesempatan fraud.
Sedang satu aspek lainnya yakni Condition merupakan sumbangan dari lemahnya organisasi, manajemen, sistem, ketentuan/ prosedur dan etika bisnis sehingga memberikan peluang kepada orang yang rakus, cerdas tetapi tidak jujur, dan berkuasa/ memiliki wewenang luas untuk melakukan fraud.

Rabu, 04 Februari 2009

Implementasi CSR di Indonesia

Setelah menjadi kontraversi, akhirnya DPR menyepakati adanya ketentuan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru disahkan dalam rapat paripurna DPR, Jumat (20/7). Dipastikan ketentuan CSR itu ditujukan ke perseroan yang kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam (SDA) atau yang berkaitan dengan itu. Seluruh fraksi sepakat, kewajiban CSR hanya dilakukan bagi perusahaan yang berpotensi menciptakan ekses negatif bukan ke semua perusahaan perseroan. 
Sebelumnya pro kontra
tentang kewajiban sebuah perusahaan untuk melaksanakan (CSR) sebagaimana diatur dalam pasal 74 Rancangan Undangan-Undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas, ramai diberitakan di sejumlah media massa. Perdebatan masalah CSR ini juga muncul di mailinglist, salah satunya di komunitas Forum Pembaca Kompas. Opini yang dibangun, kebanyakan mereka menolak CSR sebagai kewajiban bagi perusahaan. 
Sikap menolak terhadap pasal yang mewajibkan perusahaan melaksanakan CSR, sangat jelas ditunjukan oleh sejumlah asosiasi perusahaan yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Mereka antara lain: Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Persatuan Industri Kosmetika Indonesia (Perkosmi), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (Agri), Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), Aspadin (Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan), dan Nampa (Asosiasi Industri Pengolahan Daging). Penolakan mereka juga didukung oleh pimpinan Indonesia Business Link (IBL), serta Kompartemen Akuntansi Manajemen (IAI). 
Awalnya, kewajiban CSR untuk semua perseroan. Posisi kini berubah, hanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA). “Bisa pertambangan, bisa perkebunan,” jelas Ketua Panitia Khusus RUU PT (Pansus PT) Akil Mochtar (18/7). Perubahan kewajiban CSR itu secara tegas ditentang oleh Asosiasi Pertambangan Indonesia.
Mereka beralasan CSR yang berlaku wajib dapat membebani industri, menurunkan daya saing, menghambat iklim investasi di dalam negeri, memicu hengkangnya modal dari Indonesia, sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan ekspor yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. CSR juga dianggap akan menjadi beban cost bagi perusahaan yang tidak semuanya mendapatkan keuntungan besar.
Atas dasar itulah, pemerintah didesak membatalkan pengaturan kewajiban CSR dalam RUU PT. Mereka melihat lebih tepat jika dilakukan dengan memberikan insentif pajak kepada pelaku usaha yang melaksanakan CSR.   
Pemerintah sendiri tampaknya tidak satu kata perihal pencantuman pasal kewajiban program sosial perusahaan dalam RUU itu. Dephum & HAM ingin ketentuan itu masuk, tapi Departemen Perindustrian menolaknya. Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM, Suhariyono, menjelaskan, aslinya pasal CSR tersebut adalah usulan DPR. Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Perseroan Terbatas Choirul Saleh menyebut bahwa Fraksi PDI Perjuangan dan Kebangkitan Bangsa yang mengusulkan pasal CSR. Sebaliknya, Departemen Perindustrian tak sepaham dengan pandangan itu. Menteri Perindustrian, Fahmi Idris berpendapat bahwa sebaiknya CSR berjalan secara sukarela. Belakangan Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa kewajiban CSR itu disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. 
Kontraversi terkait dengan kewajiban CSR bagi perusahaan menunjukan masih adanya kekuatiran bagi sebagian besar perusahaan yang merasa terbebani dengan biaya tambahan baru. Permintaan mereka untuk mendapatkan insentif pajak dari kewajiban CSR yang dilakukannya juga berlebihan. Semangat utama CSR sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap keadaan lingkungan sosial di sekitar lokasi industrinya, menjadi bias dengan logika untung rugi. Apalagi, sejak awal konsep CSR dikesankan bersifat moralis, lebih bermakna sebagai suatu tindakan filantropi, altruistik, kebaikan budi, bukan kewajiban. 
Harus diakui, selama ini sudah ada kesadaran dari perusahaan untuk menerapkan tanggungjawab sosial. CSR sudah menjadi bagian dari strategi bisnis dalam upaya menambah nilai positif perusahaan di mata publik yakni membangun image perusahaan. Beberapa perusahaan bahkan melihat CSR sebagai bagian dari manajemen risiko. Mengembangkan program CSR yang berkelanjutan dan berkaitan dengan bidang usaha merupakan konsekuensi mekanisme pasar. Kesadaran ini menjadi tren global seiring semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip HAM. 
Sayangnya, banyak perusahaan yang terjebak pada konsep CSR yang parsial. Aktivitas yang dilakukannya biasanya bersifat sesaat, tidak berkelanjutan, dan menempatkan masyarakat sebagai obyek untuk kepentingan perusahaan semata. Akibatnya, tingkat kebergantungan terhadap bantuan perusahaan menjadi tinggi, dan masyarakat menjadi sulit untuk mandiri. Untuk itu perlu dirancang aktivitas CSR sedemikian rupa agar berkelanjutan dan relevan dengan core competence dari perusahaan. Hanya aktivitas yang berkelanjutan yang akan menguntungkan masyarakat dan akan menempatkannya sebagai subyek. Mungkin bisa berupa program pemberdayaan masyarakat, dan capacity building.
Disinilah pemerintah mesti menyamakan persepsi tentang bentuk CSR yang akan dijalankan sebuah perseroan. Sebab tanpa pemahaman yang jelas, aktivitas tanggung jawab sosial hanya akan terpuruk menjadi jargon dan akan bersifat kontraproduktif. Bagaimanapun responbsibility dalam konsep CSR merupakan salah satu prinsip dalam good coorporate government (GCG). Tiga prinsip lainnya adalah fairness, transparency, dan accountability, juga menjadi bagian yang tak terpisahkan sehingga harus saling menopang.  
Prinsip transparansi menuntut perusahaan untuk memaparkan dan mengkomunikasikan kebijakan dan praktik-praktik yang dijalankannya, terutama yang berdampak pada karyawan, masyarakat dan lingkungan. Sedangkan dalam akuntabilitas, pemangku kepentingan mengharapkan perusahaan memiliki kinerja yang baik dalam bidang non-finansial seperti dalam hak asasi manusia, peningkatan kapasitas, kebijakan lingkungan dll. Targetnya yakni membuat seluruh praktik bisnis tidak hanya bertanggung jawab secara sosial, tapi juga akuntabel dan transparan dengan membuat standar audit sosial bisnis. 
Regulasi yang disahkan oleh DPR dengan demikian diharapkan dapat menjamin bahwa CSR harus memenuhi prinsip GCG. International Organization for Standardization (ISO) yang tengah menggodok konsep Guidance on Social Responsibility standar diharapkan mengadopsi prinsip itu. Perusahaan juga harus memikirkan program yang dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, misalnya dikaitkan dengan Millennium Development Goals (MDG). Ditingkat pelaksanaan, perlu dibuat peraturan yang lebih detail dan jelas tentang bagaimana sebuah perusahaan melakukan program CSR sesuai GCG. 
Karena kewajiban CSR ini hanya ditujukan kepada perusahaan yang mengelola SDA, mereka bisa diminta mengadopsi prinsip EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) dalam kegiatan itu. Prinsip utama EITI ini adalah membuka dan memverifikasi semua pembayaran baik dari perusahaan kepada pemerintah maupun yang diterima pemerintah dari perusahaan, dan adanya auditor independen. Dengan terbukanya apa yang diberikan perusahaan SDA kepada pemerintah, dan apa yang diperoleh pemerintah dari perusahaan itu, diharapkan masyarakat bisa mengetahui kesesuainnya, termasuk anggaran untuk CSR. Kegiatan CSR dengan demikian bisa dikelola transparan.
Untuk itu, kontraversi kewajiban CSR bagi perusahaan mesti diakhiri, karena UUPT sudah disahkan, dan pernyataan pemerintah sudah jelas bahwa pelaksanaan tanggungjawab sosial itu dilaksanakan oleh perusahaan SDA. Hanya saja kegiatan ini mesti dikontrol secara ketat baik oleh perusahaan itu sendiri, pemerintah dan masyarakat setempat. Jangan sampai dana sosial dari perusahaan ini diselewengkan oleh organisasi atau partai politik untuk kepentingan kekuasaan, sehingga melenceng jauh dari semangat CSR. Transparansi dalam pengelolaan kegiatan ini juga diperlukan untuk menghindari terjadi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga program ini benar-benar dapat menyelesaikan problem sosial dan lingkungan yang terjadi di sekitar lokasi industri.

Minggu, 01 Februari 2009

Corporate Social Responsibility

Tidak ada definisi resmi tentang CSR. Sebagaimana akan kita pahami kemudian, definisi CSR berkembang dari masa ke masa. Beberapa definisi CSR yang telah dikenal adalah sebagai berikut:
  • Upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif tiap pilar. (A+ CSR Indonesia)
  • The commitment of businesses to contribute to sustainable economic development by working with employees, their families, the local community and society at large
    to improve their lives in ways that are good for business and for development. (International Finance Corporation)
  • Use its (corporate) resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, engages in open and free competition without deception or fraud. (Milton Friedman)
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, biasanya jika berbicara tentang CSR kita langsung berfikir tentang perilaku korporasi. Padahal jika ditelaah lebih jauh, pemerintah pun tidak dianjurkan untuk menjalankan aktivitas CSR, dengan beberapa penyesuaian tentunya. Hal ini berkaitan dengan posisi pemerintah sebagai konsumen terbesar bagi seluruh kegiatan konsumsi. CSR bukan merupakan obat dewa, tetapi tetap memberikan petunjuk penting yang dapat menjadi panduan bagaimana korporasi dan pemerintahan sebaiknya dijalankan.
1950-an: CSR MODERN
Literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950an menyebut CSR sebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari.
Buku karangan Howard R. Bowen yang berjudul Social Responsibility of The Businessman dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari CSR sebagai:
“… obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society.” (Bowen, 1953, hal. 6)
Walaupun judul dan isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan businessman tanpa mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada literatur-literatur CSR yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan fondasi CSR tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai Bapak CSR.
1960-an
Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang.
Kata corporate mulai dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan korporasi.
Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul Silent Spring . Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam. Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap kelestarian alam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent Spring juga menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain penghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu ”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events.
Tahun 1963 Joseph W. McGuire memperkenalkan istilah Corporate Citizenship. McGuire menyatakan bahwa:
The idea of social responsibilities supposes that the corporation has not only economic and legal obligations but also certain responsibilities to society which extend beyond these obligations” (McGuire, 1963, hal. 144)
McGuire kemudian menjelaskan lebih lanjut kata beyond dengan menyatakan bahwa korporasi harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, “kebahagiaan” karyawan dan seluruh permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,” sebagai mana warga negara (citizen) yang baik.
1970-an
Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.
Tahun 70-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran konsentris yang dipaparkan oleh CED.
1980-an
Era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate responsibility. Walaupun telah menyinggung masalah CSR pada 1954 , Empu teori manajemen Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984 , Drucker berpendapat:
But the proper ‘social responsibility’ of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human competence, into well-paid jobs, and into wealth” (Drucker, 1984, hal. 62)
Dalam hal ini Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan.
Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future – juga dikenal sebagai Brundtland Report untuk menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerjasama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
1990-an
Earth Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992 . Dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya eco-efficiency dijadikan sebagai prinsip utama berbisnis dan menjalankan pemerintahan.