Sabtu, 24 Januari 2009

Good Corporate Governance

Secara sederhana, Good Corporate Governance (GCG) adalah proses, sistem dan struktur yang memungkinkan lima prinsip dalam operasional perusahaan bisa terealisasi, yakni: independensi, transparansi, akuntabilitas, fairness, dan responsibilitas. Struktur yang tertib, misalnya ada komisaris independen, komite audit, komite vendor, atau komite-komite lainnya, yang memungkinkan sistem dan proses perusahaan berjalan di atas rel yang lempang. Dan bila hal ini bisa diterapkan, perusahaan sungguh memiliki fondasi yang amat kuat untuk menciptakan keunggulan daya saing sehingga berkelanjutan.

Jadi, idealnya, langkah pertama menerapkan GCG adalah membuat proses, sistem, dan struktur yang memungkinkan lima prinsip direalisasikan. Pertanyaannya, akankah landasan ini membawa keunggulan bersaing? Apakah GCG membuat perusahaan sukses secara finansial? Dan apakah perusahaan pada akhirnya bisa tumbuh berkelanjutan?
Tony Roland Silitonga, Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Corporate Directorship mengungkapkan, penelitian McKinsey terakhir menunjukkan bahwa investor beraset minimum US$ 300 miliar menyatakan lebih percaya pada perusahaan berdasarkan indeks GCG-nya ketimbang financial statement.
Misalnya, dijelaskan Tony, ada dua perusahaan, A dan B. Perusahaan A sudah menerapkan GCG, sedangkan B tidak. Lalu, katakanlah kondisi dua perusahaan ini sama, baik jenis bisnis maupun jumlah pegawainya. ”Dia (investor) akan memberi A (harga) 27% premium. Kalau dia beli B Rp 100 miliar, maka dia akan beli A Rp 127 miliar,” ujarnya. ”Jadi GCG itu akhirnya jadi money talk, make profit for the company. Dan make profit-nya bukan shot-term, tapi menjadi sustainable for the long-term,” lanjut kelahiran 29 Oktober 1962 ini.
Perkara sustainabilitas sebetulnya bukan omong kosong. Logika sederhana saja mengajarkan satu hal: GCG menjadikan pengelolaan risiko bisnis lebih terkendali. Hanya saja, Tony melihat, masih banyak kendala yang membuat praktik tata pamong perusahaan ini diemohi, atau tidak dijalankan secara serius. Dari sisi eksternal – terutama bagi yang belum mempraktikkannya – GCG dianggap sesuatu yang mengawang-awang. Seolah-olah, disebutkan Tony, harus panggil konsultan, mengangkat komisaris independen lebih dulu, dan segala tetek bengek lainnya yang dianggap hanya memboroskan dana.
Adalah benar praktik GCG yang baik memerlukan struktur yang tertib. Itu idealnya. Akan tetapi, untuk menerapkan lima prinsip di atas (akuntabilitas, dan seterusnya), pada hakikatnya, proses dan sistemlah yang berperan sangat penting. Bahkan, menurut Gopinath Menon, Penasihat Teknis Pricewaterhouse Coopers, hal terpenting dalam GCG adalah mengimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, menginternalisasikannya, dan bukan sekadar basa-basi membuat struktur yang mematuhi regulasi. Perusahaan harus benar-benar menciptakan lingkungan yang memungkinkan diterapkan dan diinternalisasikannya lima prinsip di atas. Caranya?
Paling wahid, aspek leadership memegang peranan. Menurut Tony, pemimpin lebih dulu harus menciptakan iklim transparansi. Dewan komisaris dan direksi harus menceritakan apa yang terjadi di perusahaan, tak terkecuali seputar kinerja keuangan, apakah untung atau rugi, dan bagaimana pembagian keuntungannya. Setelah transparansi, tahap selanjutnya menciptakan kerangka untuk lahirnya responsibilitas. Tony mencontohkan, Beyond Petroleum (BP) membuat aturan bahwa jika ada pemasok yang memberi karyawan uang di atas US$ 25, si karyawan harus melaporkannya ke Vice President Ethic BP.

0 komentar:

Posting Komentar